Di siang hari yang redup, saat matahari enggan menampakkan sinarnya karena bersembunyi di balik awan mendung, suasana terasa seperti pagi yang enggan berlalu. Waktu menunjukkan pukul dua belas siang, namun udara masih sejuk, dan angin berembus pelan, membawa kesejukan yang merayap ke setiap sudut.
Di gubuk kecil itu, Cak Nur duduk santai seperti biasa. Dengan kebiasaannya yang khas, ia membuka berbagai bacaan—dari PDF, buku, kitab-kitab, hingga novel silat yang menghanyutkannya dalam dunia para pendekar. Sementara itu, Pak Edy sibuk menyeduh kopi khasnya, kali ini bubuk kopi Gayo Aceh yang baru saja ia beli. Rasanya unik, dengan sedikit rasa asam yang bercampur dengaj pahit. Kebetulan, Cak Nur memang pecinta kopi tanpa gula—baginya, menikmati kopi adalah merasakan keaslian setiap seduhan, menjelajahi rasa dari berbagai daerah.
Di rak kayu sederhana dalam gubuk itu, tersusun berbagai jenis kopi: kopi Kalimantan, kopi Dampit, kopi Bali, hingga kopi dari Napoli yang dibawa seorang teman sepulang dari Italia. Cak Nur menikmati kopi dengan tenang, sambil larut dalam bacaannya.
More Read
Di tengah ketenangan itu, suara mobil mendekat. Sebuah Innova abu-abu berhenti, dan dari dalamnya turun seorang pria bersahaja—Tuan Guru Wahbi. Tampaknya ia baru saja menempuh perjalanan jauh, mungkin usai mengisi pengajian di luar kota. Memang, setiap Sabtu dan Minggu, jadwal beliau selalu padat di luar Malang.
Tuan Guru Wahbi bukan orang biasa. Ia adalah cucu dari Guru Sarwani Abdan, atau yang lebih dikenal sebagai Guru Bangil—seorang ulama besar yang menjadi guru dari Guru Zaini Martapura.
Kehadiran beliau membawa suasana yang berbeda, seolah angin sejuk bertiup lebih lembut, membawa kisah-kisah kebijaksanaan yang siap dibagikan.
Masih dalam suasana tenang, sambil menikmati seduhan kopi pahit tanpa gula, keduanya berbincang tentang bagaimana para ulama generasi terdahulu menjalani uzlah—menyendiri, berkhulwat, atau menjauh dari keramaian.
Keterangan di dalam Al-Jami’us Shoghir fi Ahadits al-Basyir al-Nadhir karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuti yang kemudian disyarahi oleh Syekh Abdul Rauf al-Munawi di dalam kitab Faidul Qodhir disebutkan.
Hadist ke 7774 – (Betapa bertakwa, betapa bertakwa, betapa bertakwa) — Kalimat ini menunjukkan betapa besar ketakwaan seorang hamba mukmin. Ucapan ini diulang-ulang untuk menegaskan makna serta mendorong kita agar meneladani petunjuk dan mengikuti jejak hidup Rasulullah. (Seorang penggembala kambing di puncak gunung yang mendirikan salat di sana) — pernyataan ini menekankan keutamaan uzlah (mengasingkan diri) dan menyendiri, sebagaimana yang menjadi kebiasaan sebagian generasi salaf.
Dikatakan kepada seseorang: “Apa yang masih tersisa dari hal-hal yang memberikan kenikmatan?” Ia menjawab: “Sebuah ruang bawah tanah untuk menyendiri di mana aku tidak perlu melihat seorang pun.”
Qasim Al-Jura’i berkata: “Keselamatan sejati terletak dalam uzlah, dan kebahagiaan sejati ada pada Allah dalam khalwat (menyepi).”
Ibn Arabi menjelaskan:
Uzlah terbagi menjadi dua:
1. Uzlah para murid, yaitu menjauhkan diri secara fisik dari pergaulan dengan makhluk.
2. Uzlah para muhaqqiq (ahli hakikat), yaitu mengasingkan hati dari segala sesuatu selain Allah. Hati mereka tidak menjadi tempat bagi apa pun selain ilmu tentang Allah, yang menjadi saksi kebenaran dalam hati mereka.
Orang yang melakukan uzlah memiliki tiga tujuan:
1. Menghindari kejahatan orang lain.
2. Menghindari kejahatan diri sendiri yang dapat merugikan orang lain. Tujuan ini lebih tinggi dari yang pertama, karena yang pertama mengandung prasangka buruk terhadap orang lain, sedangkan yang kedua mencerminkan pengawasan dan kesadaran diri.
3. Memilih persahabatan dengan Allah di sisi para malaikat tertinggi.
Orang dengan derajat tertinggi adalah mereka yang mengasingkan diri dari hawa nafsunya, memilih kedekatan dengan Allah di atas segala sesuatu. Barang siapa yang lebih memilih uzlah daripada berbaur dengan banyak orang, berarti ia telah mendahulukan Allah atas segalanya. Dan siapa yang mengutamakan Allah, tiada seorang pun yang mampu mengetahui anugerah serta karunia yang akan Allah limpahkan kepadanya.
Uzlah hanya akan muncul dalam hati jika seseorang merasakan keterasingan dari hal-hal yang ditinggalkan dan menemukan ketenangan dalam kedekatan kepada Allah. Hal ini akan menuntunnya kepada uzlah sejati.
Maka, sudah tidak asing bagi kita mengenai orang-orang yang menjalani uzlah. Di antaranya adalah Guru Zaini Martapura, yang pernah beruzlah di Di Bangil, kediaman Guru Sarwani Abdan.
Menjalani uzlah selama empat puluh hari tanpa keluar rumah, dalam keadaan berpuasa, dengan lauk pisang. Satu buah pisang dikonsumsi saat sahur dan dua buah pisang saat berbuka, hingga genap empat puluh hari.
Benarlah, setelah beruzlah, Allah ﷻ membukakan al-futuhat—pembukaan-pembukaan luar biasa. Masya Allah, kita dapat mendengar atau melihat bagaimana Guru Sekumpul, Guru Martapura, mencapai derajatnya. Bahkan, saat ini haul terbesar di Indonesia adalah haul Guru Sekumpul Martapura.
Dalam Al-Hikam, juga terdapat keterangan mengenai uzlah atau khalwat, yang dengannya seseorang dapat mencapai pemikiran yang lebih luas dan mendalam. Memang, dalam satu tahun yang terdiri dari 365 hari, sebaiknya kita menyisihkan waktu untuk beruzlah. Namun, ada pula waktunya untuk berdakwah, mengajar, serta berinteraksi di tengah masyarakat. Dengan demikian, ada saat-saat kita menyendiri dekat kepada Allah, dan ada pula saat untuk nasyrul ‘ulum (menyebarkan ilmu).
Saat ini, kita sering mendengar dari guru-guru kita tentang konsep uzlah dalam pesantren, yaitu memilih untuk lebih banyak berdiam di dalam dan tidak sering bepergian. Sebagaimana dawuh para guru, jika seorang kiai atau pengasuh pesantren terlalu sering keluar—“ngamen” dalam tanda kutip—hingga jarang berada di pesantrennya, meninggalkan santri, serta mengabaikan tugas mengajar dan membimbing, maka kualitas santrinya cenderung melemah.
Sebaliknya, seorang kiai yang istiqomah menetap di pesantren, mengajar, dan mendidik santrinya secara langsung, akan membawa dampak besar bagi perkembangan mereka. Ketika seorang kiai lebih banyak berdiam di pesantren, sepenuhnya fokus dalam mendidik santri, dan tidak sering bepergian, maka santri-santrinya pun akan menjadi lebih kuat dan berkualitas. Mereka mendapatkan keberkahan dari keistiqomahan sang kiai.
Tanpa terasa, setelah berbincang panjang lebar dari pukul 12 siang hingga 12 siang keesokan harinya, waktu berlalu begitu cepat. Keduanya tenggelam dalam membaca, menelaah catatan para ulama, serta mengkaji teks-teks kuno, hingga menyadari bahwa mereka telah duduk di tempat itu selama dua hari tanpa terasa.
•فيض القدير شرح الجامع الصغير
زين الدين عبد الرّؤوف المناوي (ت ١٠٣١هـ)
٧٧٧٤- (ما أتقاه ما أتقاه ما أتقاه) أي ما أكثر تقوى عبد مؤمن وكرره لمزيد التأكيد والحث على الاقتداء بهديه واتباع سيرته (راعي غنم على رأس جبل يقيم فيها الصلاة) يشير به إلى فضل العزلة والوحدة، وقد درج على ذلك جمع من السلف، قيل لرجل: ما بقي مما يتلذذ به قال: سرداب أخلو فيه ولا أرى أحدا وقال قاسم الجرعي: السلامة كلها في العزلة والفرح كله بالله في الخلوة وقال ابن العربي:
العزلة قسمان عزلة المريدين وهي بالأجساد عن مخالطة الأغيار وعزلة المحققين وهي بالقلوب عن الأكوان فليست قلوبهم محالا لشئ سوى العلم بالله الذي هو شاهد الحق فيها وللمعتزلين نيات ثلاثة نية اتقاء شر الناس ونية اتقاء شره المتعدي إلى الغير وهو أرفع من الأول فإن في الأول سوء الظن بالناس وفي الثاني سوء الظن بنفسه ونية إيثار صحبة المولى من جانب الملأ الأعلى وأعلى الناس من اعتزل عن نفسه إيثارا لصحبة ربه على غيره فمن آثر العزلة على المخالطة فقد آثر ربه على غيره ومن آثر ربه لم يعرف أحد ما يعطيه الله من المواهب ولا تقع العزلة في القلب إلا من وحشة تطرأ عليه من المعتزل عنه وأنس بالمعتزل إليه وهو الذي يسوقه إلى العزلة وأرفع أحوال العزلة الخلوة فإن الخلوة عزلة في العزلة. – (طب عن أبي أمامة) قال الهيثمي: فيه عفير بن معدان وهو مجمع على ضعفه اه. وبه يعرف ما في رمز المصنف لحسنه.